Thursday, January 10, 2008

Surat Kepada Kawan Di Suatu Petang

Kawan, perjumpaan kita, barangkali, sebuah kebetulan yang tak pernah diniatkan. Tapi, begitulah hidup sering mengajarkan: Kerap ada perihal misterius yang mencemooh ikhtiar untuk menjabarkan, setiap kali kita berlagak rasional. Maka, Tuhan pun menautkan kita dalam cara yang amat sahaja, lugu, tak kebanyakan tingkah. Hingga pada suatu ketika.

Kau bertandang sambil menyuguhkan sepotong paras khas pemikir letih. Kau tiba-tiba ingin berhenti—atau setidaknya membikin interupsi—atas hidup yang bergerak menuju renta. Kau masih memanjakan kecewa dengan koar yang, sejujurnya, tak seluruhnya kumengerti benar. Tapi kau meneruskan muntab, setengah mengutuk. Tentang perselisihan, silap, khilaf, kalap, onar. Tentang dosa, dan salah.

Kawan, saya pun tidak mafhum mengapa perihal-perihal banal seringkali kekal dan kental bersahabat dengan kita. Sekurangnya, karena kita tahu, di semua jazirah para nabi pernah diutus dan firman sempat bergema. Adakah dengan begitu para aulia gagal mewariskan pekerti? Adakah dengan begitu kita boleh bertanya-tanya, apa gunanya wahyu bagi hidup manusia?

Saya tiba-tiba teringat pada cerita lama Ibrahim bin Adham yang hidup di abad ke-8. Seorang alim rendah hati yang tak pernah merasa lebih taat dan lebih dekat dengan Tuhan. Ia mengumpul kayu bakar dan pergi berladang. Penghasilannya, diderma pada orang yang tertimpa malang. Syahdan, ia menjenguk Ka’bah di sebuah malam ketika gemuruh guntur dan hujan deras datang berbarengan. Usai tawaf panjang ia mengangkat tangan, mengajukan permohonan. "Tuhan, jaga aku dari berbuat dosa terhadap-Mu."

Konon, sebersit suara tiba-tiba membisik. "Ibrahim, bila Kupenuhi doamu dan doa semua hamba-Ku yang serupa denganmu, pada siapa gerangan Kulimpah belas-Ku, kemaafan-Ku, ampunan-Ku?"

Kawan, entah apa yang melintasi benakmu ketika kututurkan cerita itu. Kisah sufi itu, bagi banyak orang terasa amat menggetarkan. Bukan karena bersitan suara yang tiba-tiba saja membisik telinga Ibrahim. Melainkan betapa Tuhan berkenan menerima kenyataan manusia, apa adanya. Yang tak seluruhnya mampu luruh dari silap dan khilaf yang mungkin. Kita dituntun ke pucuk kesadaran, betapa Tuhan, adalah rahman. Adalah rahim.

Saya pun kadang lupa akan hal itu. Yang kerap memaksa manusia lain tersungkur dalam kemustahilan sebuah itikad: menjadi si suci yang bebas dosa 24 jam sehari. Padahal kita gemar membolak-balik kitab-kitab sejarah seraya mendapati: Manusia yang memaksa manusia lainnya tak pernah berbuat salah justru karam dalam penindasan maha hebat. Ada indoktrinasi bertalu-talu, dan cemeti yang siap merobek kulit di setiap salah ucap. Kau tiba-tiba mendesiskan nama Pol Pot, Gulag, Hitler, Aurangzeb, dan entah siapa lagi.

Tuntutan kesempurnaan yang serba bulat itu justru tiba-tiba dihadapkan dengan realitas yang sama sekali lain: penghinadinaan atas harkat manusia. Sebuah degradasi kontras tentang nilai-nilai. Dan karenanya, terasa sangat tak pantas.

Salah, khilaf, dosa. Pada akhirnya kita mengerti akan batas. Mengerti akan kelemahan. Mengerti akan ketidaksempurnaan. Mengerti akan pentingnya rendah hati. Dan pongah serta merta tumpas, tersungkur di ambang haribaan-Nya dengan jantung yang hampir lepas. Paras dan Laku-Nya yang sempurna. Kita selamanya tak akan menjadi Dia. Lantaran itulah firman bergema. Lantaran Tuhan sajalah yang paling mengerti batas ciptaan-Nya.

Kawan,

salah, khilaf, dosa. Pada akhirnya kita belajar berendah hati, berikhtiar tulus, menyisipkan itikad ikhlas ke ruas hati. Manusia yang sadar akan batas, manusia yang sadar akan lemah diri. Ketidaksempurnaan adalah monopoli kita, dan Tuhan tak pernah kapok menyuguhkan pengampunan. Maka, kita menemukan sebuah alasan untuk selalu menghaturkan maaf, atas segala ketidakbecusan, kebanalan, khilaf, salah, dosa yang bertalu-talu pernah kita perbuat. Sebagaimana kini kita menemukan alasan untuk tak lagi kikir memberi kemaafan dan pengampunan bagi semua.

Kawan, selamat berlebaran di tahun ke-1428. Maafkan saya, mohon maafkan khilaf saya.
 
powered by Blogger